Secondhand
shopping, atau belanja pakaian bekas, tentu sudah tidak asing buat kita. Bagi
saya yang dulu kuliah di Bandung, tentu belanja pakaian bekas di Pasar Gasibu
pada hari Minggu dan berkunjung ke Pasar Gedebage sudah lumrah. Apalagi,
keluarga besar saya yang tinggal di Sumatera Utara sudah akrab dengan bisnis
jual beli baju bekas, sehingga kegiatan ini bukan hal yang tabu lagi.
Kalau
teman-teman sudah dengar podcast Jelujur yang terakhir (jika belum, dengarkan
ya!), kita diingatkan kalau belanja pakaian bekas itu mendukung pergerakan sustainable
fashion. Bagaimana? Tentunya dengan membantu mengurangi sampah tekstil.
Pakaian-pakaian yang semestinya dibuang oleh pemilik lama dan tadinya akan
menuh-menuhin TPA, malah berkesempatan untuk kita beli dan pergunakan kembali.
Dengan ini, kita turut meringankan beban pemerintah dalam mengatasi masalah
sampah ini lho!
Baiklah,
kalau teman-teman sudah familier dengan secondhand shopping, mengapa saya
repot-repot lagi menulis soal ini? Jujur saya pun pendatang baru dalam memahami
sustainable fashion. Namun, pola pikir saya lima tahun lalu saat memilah-milah
baju di Gasibu tentu berbeda dengan saya yang pada saat ini bekerja sebagai volunteer
di salah satu charity shop di Manchester. Memang belanja secondhand relatif
lebih murah, apalagi buat mahasiswa, namun sayangnya, alasan ini berpotensi menjadi
pisau bermata dua. Oleh karena itu aya ingin berbagi dua kesalahan yang saya
lakukan dalam belanja secondhand.
1. Belum kenal decluttering
Buku
Marie Kondo memang sudah terbit tahun 2011 dan mulai digandrungi tahun 2014. Di podcast Jelujur terakhir, Setali juga
sedang mengampanyekan decluttering. Sayangnya, saya belum terekspos dengan
metode ini pada masa itu. Pakaian-pakaian saya menumpuk, namun hanya sedikit yang
terpakai. Banyaknya jumlah pakaian yang tidak teridentifikasi ini malah bikin
saya tidak aware dengan apa yang saya butuh dan nggak butuh, dan pada akhirnya
saya merasa harus belanja lagi dan lagi. Memang ujung-ujungnya saya belanja ke
Gasibu juga, tapi simak kesalahan kedua berikut.
2. Mentang-mentang murah, jadi asal
belanja
Hati-hati
dengan jebakan ini. Kadang kita memperlakukan belanjaan kita sesuai dengan
harga yang kita bayar. Jika barangnya mahal, disayang-sayang, kalau murah
disepelekan, yang kalau dupikir-pikir lagi mirip dengan mental belanja dari
fast fashion. Jadi begini, beberapa lokasi secondhand shop menyediakan ruang
ganti yang seadanya, atau malah tidak ada sama sekali. Biasanya saya hanya
mencoba kemeja di atas kaos yang sedang saya pakai belanja. Pernah saya khilaf
beli dress yang terlihat lucu digantung, malah tidak dicoba sama sekali. Sesampainya
di rumah, ternyata nggak muat. Mau dikembalikan nggak bisa. Ya sudah, hanya
sepuluh ribu kok, begitu pikir saya dulu. Sekarang saya jadi bertanya-tanya, di
mana dress itu sekarang? Berakhir di TPA Bandung kah? Hanya Tuhan yang tahu.
3. Belum tahu bagaimana memilih baju
yang baik dan benar
Saya
sering prihatin sama diri saya sendiri karena tidak tahu berpakaian yang baik
dan benar. Saya tidak paham soal bahan kain. Saya membeli baju hanya karena
sedang tren atau karena bajunya cocok di patung atau cocok di Scarlett
Johansson. Saya beli baju hanya karena motifnya bunga-bunga dan kainnya shiny.
Sayangnya, hal-hal yang saya “suka” ini dibentuk dari lingkungan—dari majalah,
televisi, Instagram—dan bukannya apa yang cocok dan nyaman saya pakai. Pernah
saya beli coat warna biru motif houndstooth besar-besar dari sebuah charity shop.
Waktu dilihat lumayan cantik. Setelah dipakai keluar, saya menyesal karena potongannya
sama sekali nggak pas, dan teman saya juga bilang begitu. Apa yang terjadi pada
coat itu? Hanya saya pakai sekali, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi
setelahnya.
0 Komentar