Buy Month: Hlaii


Perbincangan dengan @ayudyaparamitha founder @hlaii_ merupakan momen yang begitu insightful. Berawal dari profesinya sebagai arsitek kemudian mengembangkan fashion melalui zero-waste pattern. Berikut adalah percakapan selengkapnya. 

Q: Bisa diceritakan awal mula membangun Hlaii seperti apa? Dan bagaimana latar belakang Mitha sebagai arsitek memengaruhi proses kreatif Hlaii?

A: Awal mulanya di tahun 2011. Setelah melahirkan anak kedua, berat badan saya naik drastis sampai bingung mau pakai baju apa. Kebetulan saya tipe orang yang selalu ingin pakai baju bagus, jadi akhirnya memutuskan untuk buat baju sendiri menggunakan bahan baju dari Mama yang dijahitkan ke penjahit keliling. Karena memang tidak bisa membuat pola, jadi buat bajunya hanya didasarkan pada badan sendiri. Eh ketika baju itu dipakai ke kantor, banyak yang bilang bagus dan tanya "beli di mana?". Ketika dijawab buat sendiri, banyak yang merespons "kenapa tidak dijual?". Akhirnya memutuskan untuk mulai berjualan dan lahirlah Hlaii ini.
Dulu ketika kuliah arsitektur, saya lulus dengan membuat tugas akhir yang membahas limbah. Jadi sebenarnya ada kaitannya juga dengan yang dilakukan di Hlaii. Ketika memulai bisnis ini, saya mencari penjahit yang bisa membuat pola--meskipun gambar tetap dari saya--dengan prinsip memaksimalkan penggunaan kain yang ternyata bisa disebut juga sebagai zero-waste pattern. Karena pekerjaan utama saya adalah seorang arsitek di firma Andra Matin, saya juga banyak belajar dari beliau mengenai fashion intuition. Dari segi desain arsitektur, beliau selalu menekankan bahwa konsep balance itu tidak selalu A sama dengan A. Sangat bisa A sama dengan B dan secara look bisa dilihat serta dirasa bahwa itu tetap balance. Konsep itu juga memengaruhi desain baju saya. Saya selalu membuat potongan yang asimetris (sangat jarang membuat hal yang simetris) dengan tetap mengusahakan untuk terlihat balance dan tidak berlebihan. Jadi memang saya banyak menerapkan pola pikir arsitektur di proses desain Hlaii.

Q: Aspek keberlanjutan apa yang Mitha terapkan di Hlaii?

A: Pertama zero-waste pattern. Karena saya tidak memiliki ilmu membuat pola, akhirnya semua diawali dari potongan yang rectangular dipadukan dengan teknik draping, crumpling, dan folding sehingga bisa menggunakan bahan sebanyak-banyaknya. Hlaii hampir tidak menyisakan limbah sama sekali (paling banyak hanya 3% limbah dari total kain), maka dari itu disebut zero-waste pattern. Kalaupun ada limbah pun karena kita memotongnya secara rectangular jadi masih sangat bisa di-recycle atau di-upcycle jadi baju baru.
Selain itu, saya juga membangun Hlaii dengan tujuan memberdayakan, menyejahterakan, dan meningkatkan kualitas hidup penjahit keliling. Penjahit keliling pertama yang saya temui sama clueless-nya dengan saya mengenai proses desain pakaian yang complicated, tetapi akhirnya kami belajar bareng. Untuk sistem di Hlaii sendiri jatuhnya komisi atau pembagian income, jadi keempat penjahit Hlaii adalah partner saya dan kami berkolaborasi bersama untuk membangun Hlaii. Jadi memang di awal Hlaii itu serba tidak sengaja dan autodidak: knowledge nol, modal nol (karena sistem made by order), karena memang ingin berbisnis yang risikonya juga nol.

Q: Apakah ada further sustainable plan untuk Hlaii ke depannya, mungkin meluncurkan ready-to-wear/capsule collection dengan material-material sustainable?

A: Menurut saya pribadi, sustainable itu harus lengkap. Kalau di Hlaii mungkin sudah dimulai dengan penggunaan material secara bijaksana melalui zero-waste pattern. Namun untuk ke depannya, tentu ada keinginan untuk berkembang lagi. Inginnya sih bisa menggunakan material yang memang sudah sustainable atau berasal dari alam.
Sementara itu, untuk sistem produksi yang made by order sepertinya masih akan tetap. Jadi, sebelumnya Hlaii memang made by order karena ini bukan usaha utama, saya juga bekerja di tempat lain. Sejak Maret, saya memutuskan untuk lebih fokus di Hlaii karena permintaan yang terus meningkat. Namun bukan berarti akan produksi massal ya karena memang tidak mau serakah dan sejak awal tidak prefer ke arah sana. Kalau dulu alasannya mostly karena keterbatasan waktu, sekarang lebih menitikberatkan pada mempertahankan eksklusivitas untuk customer. Selain itu, dengan hanya membuat 15-20 buah per artikel saya jadi punya waktu untuk memeriksa jahitan dan detail satu per satu, sehingga kualitasnya bisa terjaga. Tidak menutup kemungkinan akan membuat ready-to-wear collection, tentu tetap dengan jumlah yang terbatas, kisaran 30 pieces per artikel. Karena dari segi sumber daya Hlaii juga masih terbatas, dan saya juga belum punya keinginan untuk menambah penjahit dalam waktu dekat. Masih ingin stick ke formula lama, tidak mau terus menerus mengeluarkan ready-to-wear baru agar lebih ditunggu-tunggu dan juga lebih fokus ke custom design.


Q: Bagaimana suka dan duka menjalani usaha ini?

A: Ini sebenarnya suka sekaligus duka sih. Karena saya dari awal membangun Hlaii sudah mengusung konsep zero-waste pattern, dukanya cukup banyak orang yang mempertanyakan. Ternyata kebanyakan orang memang belum aware tentang zero-waste/sustainable fashion. Jadi saya harus menciptakan look atau visual yang menarik dulu, agar konsumen tertarik mengonsumsi dan akhirnya ingin tahu lebih lanjut mengenai cerita di balik produk tersebut. Ini bagian sukanya sih, karena dengan awareness yang masih rendah justru Hlaii bisa membantu mengedukasi melalui penjualan (meskipun tidak mudah), dan dengan membeli atau membuat pakaian di Hlaii, secara tidak langsung dan tidak sadar konsumen sudah berkontribusi untuk mengurangi limbah kain serta beban bumi secara umum.


Q: Sebagai penutup, apa harapan untuk masa depan sustainable fashion di Indonesia?

A: Saya melihat sudah mulai banyak yang peduli dengan sustainability, baik dari sisi produsen maupun konsumen. Sudah mulai terbuka pengetahuan dan kepeduliannya pada alam. Harapannya kepedulian ini bisa berlanjut terus secara nyata sampai ke pola konsumsinya. Bisa lebih bijaksana, bisa memilih mana yang baik tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan, meliputi semua: sandang, pangan, papan.
Saya juga berharap pelaku industri fashion bisa mengelola limbahnya dengan lebih baik, tidak harus dengan zero-waste pattern, karena pasti banyak cara yang lain. Seperti yang tampak di masa pandemi sekarang, limbah-limbah bisa diolah sendiri menjadi masker kemudian dijual, dan ada juga yang mendonasikan kain perca ke pihak lain untuk dibuat menjadi masker juga.



Posting Komentar

0 Komentar