Baik, gaya hidup kita sudah berkesadaran. Lalu apa?

Hal-hal di luar boikot fast fashion, menolak plastik sekali pakai, dan mencuci tangan dari praktik bisnis konvensional





Siapa di antara teman-teman yang ingin menyelamatkan lingkungan?

Apakah teman-teman menganut gaya hidup minimalis, mengurangi konsumsi daging, menolak kemasan plastik, membuat kompos, menolak belanja dari merek fast fashion? Memang sulit untuk melakukan semuanya sekaligus, namun setidaknya kita sudah memulai.

Wow, kita sudah mengurangi kontribusi kita dari praktik bisnis yang kurang etis. Alhasil, tubuh kita lebih sehat karena konsumsi makanan organik. Pengrajin lokal, para petani, serta pengusaha kecil pun merasakan dampak positif dari gaya hidup ini. Selain itu, kebun-kebun pun mulai hidup kembali. Memulai dari sendiri memang membuat kita lebih bahagia, karena uang kita tersalurkan pada usaha yang tepat. We vote with our money.

Jika “memulai dari diri sendiri” memang begitu berdampak, bayangkan perubahan yang terjadi di garis akhir pertandingan. “Garis akhir” yang jarang diperbincangkan karena kita masih bergumul memulai agama baru ini, sambil kadang-kadang berbuat dosa dengan makan pizza daging dan belanja dari fast fashion.

Kalau begitu mari definisikan tujuan pertandingan ini dengan “mengakhiri sebagai masyarakat dunia.” “Mulai dari diri sendiri” supaya kita bisa “mengakhiri sebagai masyarakat dunia.” Sesuai dengan tujuan dari SDG itu sendiri supaya tidak ada yang tertinggal, begitu bukan?

Masyarakat mulai menyadari pentingnya memiliki gaya hidup yang berkesadaran, terkhusus yang berada di negara maju. Di Indonesia pun demikian. Namun tidak dipungkiri bahwa gaya hidup ini lekat diasosiasikan dengan masyarakat kelas menengah ke atas. Salah satu penyebabnya ialah harga produk-produk penunjang yang kebanyakan di atas rata-rata. Walaupun tidak semuanya mahal, persepsi yang terlanjur tertanam di masyarakat membuat mereka enggan untuk berkomitmen. Selain itu, akses masyarakat terhadap informasi dan filosofi gaya hidup berkesadaran pun masih terbatas karena tidak semua mampu berbahasa Inggris dan memiliki akses internet 24 jam.

Produk-produk penunjang gaya hidup berkesadaran memang kebanyakan di atas rata-rata karena bertujuan untuk mencegah praktik-praktik non-etis. Hal ini termasuk eksploitasi pekerja dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, sertifikasi dan klaim dari merek-merek tertentu seperti “bahan alami”, “organik”, “vegan”, dan sebagainya makin marak ditemui untuk menjawab permintaan konsumen. Tanpa sertifikasi pun beberapa brand mulai mengedepankan transparansi dalam bisnis mereka. Selain itu, banyak masyarakat mulai memilih belanja produk lokal ataupun bekas. Memang, gaya hidup ini sangat baik untuk mengurangi jejak karbon skala rumah tangga, ataupun bisnis—terkhusus bisnis yang cenderung bertanggung jawab pada masyarakat dan lingkungan.

Photo by sydney Rae on Unsplash

Namun, seberapa jauh dampak positif dari gaya hidup kita ini terhadap masyarakat dan lingkungan?

Apakah ini semua cukup untuk mengompensasi kerusakan yang ditimbulkan bisnis konvensional? Berapa orang yang harus mengadopsi gaya hidup ini supaya lingkungan dan kesejahteraan terselamatkan? Apakah industri skala besar sudah berubah secara umum? Seperti kita tahu, masih segelintir masyarakat yang memulai gaya hidup ini.

Memang, banyak perusahaan yang mulai merilis laporan transparansi dan sustainability. Ini kemajuan. Namun, tak dipungkiri praktik greenwashing pun ikut mengintil di balik tren gaya hidup ini. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah untuk penurunan emisi dan perlindungan pekerja. Berapa banyak buruh yang sudah kita selamatkan dari pabrik pengap dengan kampanye gaya hidup ini? Berapa sungai yang sudah kita bersihkan hanya dengan membeli pakaian dengan pewarna alami?

Kapan kita sadar bahwa mengubah gaya hidup perorangan hanya demi mencuci tangan dari praktik non-etis belum membawa pada kemajuan yang berarti? Coba kita lihat, tahun 2015, yang bertanggung jawab terhadap setengah emisi gas rumah kaca adalah 10% orang terkaya di dunia. Jika demikian faktanya, sekadar mendukung bisnis lokal adalah langkah yang lambat.

Perlu diingat bahwa konsumsi bukan sekadar interaksi antara penjual dan pembeli. Konsumsi itu politik. Konsumsi ini tertanam dalam masyarakat dan budaya, yang didukung oleh kebijakan pemerintah demi mendukung sistem ekonomi. Konsumsi itu lebih dari transaksi jual beli.

Seperti orang kebanyakan, saya juga mulai belajar mengenai dampak buruk fast fashion dari media sosial. Tentunya kasus Rana Plaza menjadi akar diskusi dari kebanyakan kampanye. Pekerja bergaji rendah, minimnya keamanan dan keselamatan kerja, pelecehan seksual, adalah mengapa kita sebaiknya tidak menyentuh produk fast fashion.

Ya, benar. Namun mengapa semua dititikberatkan pada konsumen? Bukankah kita pun harus menunjuk jari pada pemerintah? Mereka lah yang bertanggung jawab membuat dan menjalankan kebijakan ketenagakerjaan dan lingkungan.

Misalnya nih, semua orang di dunia ini berhenti belanja fast fashion dalam 6 bulan ke depan, apa yang akan terjadi? Apakah bisnis akan tumbang? Ya, tentu tumbang. Namun para elitnya akan bangkit dan membuat bisnis baru. Sementara pekerja-pekerja di bawahlah yang menanggung akibat paling besar. Kasus COVID-19 ini pun sudah cukup merepresentasikan contoh tersebut.

Sebagai konsumen yang gemar membaca-baca konten di Instagram dan Facebook, saya jarang mendegar tuntutan pada pemerintah yang membiarkan ini semua terjadi. Kebanyakan media sosial dipenuhi argumen mengapa brand A dan brand B harus diboikot, dan mendebat orang-orang yang pakai tas berbahan kulit.

Saya paham bahwa sistem dan institusi pemerintahan kita banyak kelemahan. Oleh karena itu, kalau kita sebagai konsumen bisa menggunakan uang untuk membentuk bisnis, kita pun bisa menggunakan suara kita untuk mengadvokasi masalah ini.


Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Ini bukan lagi masalah transaksi jual-beli. Ini saatnya melibatkan pemerintah dan institusi. Kita bisa melakukan lebih dari hanya menjalankan gaya hidup berkesadaran. Ini saatnya kita gunakan suara kita.

Ingat Mbak Tiza Mafira yang berhasil menggaet pemerintah untuk mendukung gerakan bebas plastiknya? Atau kalau terlalu sulit, kita bisa mengontak label mainstream secara kolektif dan meminta transparansi bisnis yang mereka jalankan. Kita bisa tanyakan mengenai bahan (saya pernah lihat online shop jual pakaian berbahan “100% satin”—ummm… satin sutra atau polyester nih? Mestinya saya tanyakan yah.), kemasan, para pengrajin, atau apapun. Atau tidak, kita bisa ikut berdonasi, mengikuti kampanye, memulai petisi, menjadi sukarelawan di LSM, atau kalau punya akses ke riset-riset yang bisa membantu pemerintah membuat kebijakan tentunya akan sangat baik.  Dengan cara ini kita berkontribusi lebih jauh dalam sustainability dalam lingkup yang lebih luas.

Memang sulit—waktu, tenaga, dan uang kita terbatas. Namun pasti ada sesuatu yang kita bisa lakukan sesuai dengan kegemaran kita masing-masing. You do you. Tidak perlu besar, namun perlu keluar dari peran kita dari sekadar sebagai konsumen. Oleh karena itu, yuk kita berpikir tentang semua produk penunjang gaya hidup kita. Sejauh apa dampak positif yang sudah dihasilkan? Apa gaya hidup ini tidak lebih dari personal branding atau sekadar membuat kita merasa lebih baik dari orang lain?

Tetap jalankan gaya hidup teman-teman dan jangan berhenti belajar, kalau bisa di luar media sosial yang kebanyakan informasi di sana penuh dengan agenda marketing.





Posting Komentar

0 Komentar