5 Kesalahan Sederhana yang Patut Dihindari dalam Menerapkan Slow Fashion


Oleh Ni Wayan Putri Damayanti Priyasa

Dengan mencuatnya pertanyaan tentang kapan gunung es akan mencair dan menenggelamkan kita semua, banyak yang mengantisipasi dengan  hidup lebih berdampingan dengan alam. Tidak hanya dengan mengurangi penggunaan sampah plastik, tapi juga dengan memperhatikan tingkat konsumerisme kita terhadap baju-bajuan yang super lucu. Semaraklah gerakan slow fashion ini hingga lama-lama mengaburkan garis batas antara gaya hidup yang lebih sustainable dengan tren besar yang rajin diikuti para matrelialis. Berikut ini 5 kesalahan sederhana yang bisa menyadarkan di mana posisimu di garis batas yang kabur itu. 


  1. Mengoleksi Totebag 

Ide mengganti kantong plastik dengan tas kain atau totebag memang sudah membuahkan hasil. Tidak hanya dalam ranah pribadi, supermarket-supermarket besar pun mulai memberikan charge untuk sehelai kantong plastik yang digunakan oleh pembeli. Namun, banyak yang tak menyadari kalau tren “sehat” menggunakan tas belanja atau totebag ini merupakan celah menguntungkan bagi para pengusaha. Masalahnya memang bukan di mereka, tapi lebih ke kebiasaan kita yang sering terlena akan tren, terlebih jika ada embel-embel “sehat” selayaknya menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik yang tak perlu. Menariknya, bisa aja yang kita hadapi ke depannya malah lautan totebag yang tak perlu. 


                                                                        Image: Anna Elizabeth

Saking banyaknya desain totebag sekarang ini, bisa saja muncul kecenderungan untuk “menginginkan” daripada kemauan untuk “memiliki”. Menurut jurnal yang ditulis Marsha L. Rirchins (2013) dalam Journal of Consumer Research, konsumen dengan sifat matrealistis tinggi akan cenderung melepaskan emosi negatif seusai memiliki barang. Jadilah mereka membeli lagi, lagi, dan lagi karena ada imajinasi-imajinasi baik yang datang ketika menginginkan sesuatu, namun lebih sering berubah jadi buruk jika barang tersebut tak sesuai ekspektasi setelah dibeli.


Selain itu, patut diketahui juga bagaimana totebag-totebag ini dibuat. Dewasa ini, banyak usaha totebag custom dengan sistem penjualan made by order yang laris manis karena harganya terjangkau. Mereka memiliki stok dengan jumlah tak sedikit. Selain itu, kebanyakan berbahan dasar kain belacu yang notabene berbahan dasar kapas. Hubungkan saja narasi tentang kebun kapas yang menghabiskan banyak sekali pestisida demi panen yang terus melimpah dengan kondisi tanah yang lama-kelamaan kehilangan zat haranya. Maka dari itu, ada baiknya agar kita selalu kembali ke tujuan awal menggunakan totebag, yaitu untuk mengurangi sampah plastik. Walau kain-kain belacu ini terkesan aman bagi lingkungan, nyatanya tidak demikian jika kita tilik asal muasalnya. 


  1. Terbuai Diskon  Jujur, rasanya masih cukup lucu untuk melihat brand yang melabeli dirinya sebagai ethical dan eco-friendly tiba-tiba ikut serta dalam parade diskon 1/1, 2/2, 3/3, dan seterusnya sampai akhir tahun. Tentu, yang menjadi targetnya adalah para korban greenwashing. Pertama-tama, sebagai konsumen slow fashion yang bijak, kita perlu sadar dan paham mengapa diskon itu ada. Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah karena stok gudang yang tak kunjung habis, dan jika tak habis, maka mubazir sudah produksi mereka. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, kenapa harus ada kata “mubazir” dalam kamus mereka sebagai brand yang menjunjung keberlangsungan atau istilah asingnya, sustainability Jelujur sendiri, contohnya, tengah mengampanyekan gagasan yang diberi nama Seasonless Fashion, yang kurang lebih secara harafiah berarti fashion yang tak mengenal musim atau tren. Dalam kampanye ini, makna mubazir berusaha untuk ditangkis karena pada dasarnya, tidak seperti makanan, pakaian ataupun aksesoris tidak bisa basi, kecuali dianggap basi oleh pemakainya  sendiri. Konsumen fast fashion akan merasa lebih butuh untuk membeli baju baru sesering mungkin daripada mereka yang menjalani slow fashion. Jadi, cukup lucu, bukan, jika sebuah brand yang “sustainable” menyelenggarakan parade diskon hanya untuk tidak memubazirkan barang produksi? Mubazir itu seharusnya tak pernah terpikirkan dari awal. Jika ditilik dari masalah upah pekerjanya, urusan diskonan ini juga cukup bermasalah. Sebuah brand yang sustainable tak hanya mengaulkasikan aspek keberlanjutannya dengan alam, namun juga dengan para pekerja serta merta kesejahteraannya. Tragedi di Rana Plaza, India, merupakan satu dari banyak kejadian yang membangunkan berbagai pihak tentang kengerian yang begitu tidak beradab di balik pakaian yang mereka pakai sehari-hari. Kesimpulan yang dapat ditarik kemudian adalah bahwa pakaian yang dibuat dengan benar itu memang tak seharusnya murah. Parade-parade diskon yang diselenggarakan seharusnya memunculkan satu pertanyaan di atas yang lain dalam kepala kita, “Apakah pekerjanya diupah sesuai dengan beban kerja mereka?” 

    Menjadi brand fashion yang 100% sustainable memang memerlukan komitmen yang cukup besar, termasuk harus mempertaruhkan keuntungan bersih mereka demi keberlanjutan dengan alam dan kesejahteraan pekerjanya yang maksimal sampai titik darah penghabisan. Satu-satunya harapan mereka adalah kita sebagai konsumen yang diharapkan dapat memilih secara bijak. Memang, kita tidak bisa rutin membeli produk mereka karena tak dipungkiri harganya akan mahal sekali. Namun, di sanalah ide pokoknya, kan? Untuk pelan-pelan dalam membeli baju baru. Tidak membeli baju sesering mungkin. Membeli, memakai, merawat dengan baik, memperbaiki jika ada bagian yang perlu diperbaiki, dan kalau memang tidak bisa, barulah tiba saat untuk membeli lagi. Akhir kalimat, untuk tidak mudah terbuai diskon adalah usaha yang sangat baik untuk mendukung keberadaan sustainable fashion yang “mahal” ini. 

  2. Thrifting yang Berakhir Hoarding 

Thrifting sudah menjadi aktivitas yang sangat mengasyikkan karena tak perlu menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk mendapatkan full look dari ujung kepala hingga kaki lagi (kalau beruntung). Namun, untuk begitu terlena di dalam perburuan menangkap banyak baju “baru” demi meng-upgrade lemari lama adalah hal yang salah.Memang, ada yang berpikiran, “Gapapa beli baju banyak, kan yang penting bekas! Kita memperpanjang usia pakaian itu biar gak nyampe di laut atau tanah cuma-cuma.” Namun, dengan jalan pikiran seperti ini, takutnya kita malah berakhir hoarding, yang nilainya sama sekali tak sama dengan arti slow fashion di awal. Cukup lakukan kegiatan ini ketika sedang memerlukan baju “baru” saja, bukan karena sedang menginginkan baju “baru”.




Ada beberapa tips yang dapat diingat-ingat ketika thrifting agar isi lemari kita mencukupi kebutuhan bersandang beberapa tahun ke depan. Pertama-tama, fokus untuk beli baju “baru” yang desainnya yang tak lekang oleh waktu, seperti celana kain, jins, kemeja bahkan baju kaos. Potongan-potongan baju ini juga akan memudahkan kalian untuk meng-upgradenya menjadi lebih stylish lagi dengan aksesoris tambahan. Maka, pendekatan yang selanjutnya adalah untuk memastikan bahwa mereka cukup versatile layaknya kanvas putih yang netral. Yang ketiga adalah untuk mempertimbangkan kepercayaan diri ketika mengenakannya. Terlalu banyak eksperimen kadang bagus, kadang tak bagus. Jadi, lebih baik membeli baju yang masih sesuai dengan
spektrum style-mu sendiri, dan gunakan aksesoris atau bahkan make up sebagai area eksperimenmu. Terakhir, selalu ingat bahwa esensi slow fashion adalah untuk membeli baju--baru atau “baru”--sejarang mungkin demi tercapainya keberlanjutan yang tak abal-abal.

4. Salah Mengartikan Minimalisme  

People make mistakes. Orang-orang yang dulu gila belanja, menjadi hoarder, bukan berarti kehilangan kesempatan untuk hidup berkesadaran dan mulai belajar untuk lebih memaknai fungsi daripada estetika belaka. Maka, daripada merasa bersalah melihat tumpukan baju yang berakhir tak dipakai sehingga secara impulsif membuang segala-galanya ke TPA dalam satu hari, lebih baik untuk pertama-tama menerima situasi dengan lapang dada. Lakukan decluttering secara berkala, pilah mana yang cocok untuk disumbangkan kepada lembaga yang menerima sumbangan baju, mana yang cocok untuk digunakan sebagai bahan barter (di Jogja ada jejaring yang menyambungkan mereka yang ingin melakukan barter! Bisa cek Instagram: pasarbarter.yk), dan mana yang sekiranya ada potensi untuk di-upcycle. Komunitas Setali Indonesia, contohnya, mengumpulkan sisa-sisa tekstil untuk dijadikan satu potong pakaian atau masker baru, lho!



5. Tak Tahu Menahu tentang Bagaimana Baju Dibuat  

Tentu saja yang paling penting untuk diketahui adalah bagaimana sebenarnya sepotong baju yang

kini tengah kita kenakan untuk minum kopi bersama teman itu dibuat dari awal. Tengah marak

pemboikotan yang ditujukan kepada brand-brand besar seperti H&M, Uniqo dan Nike karena

lingkungan dan upah yang berikan kepada para pekerjanya sama sekali tidak manusiawi, malah

diekploitasi. Sering kita lihat tulisan Made in India, Made in Vietnam, Made in Cambodia, atau

bahkan Indonesia pada produk-produk mereka, yang menurut Robert J. S. Ross (2004, p. 103)

merupakan negara dengan kualitas perlindungan dan upah terhadap buruh yang digolongkan

sangat rendah. Logikanya, dengan sisa modal yang masih banyak, mereka pun bisa fokus untuk

melimpahkannya pada bahan dasar sehingga produksi bisa melebihi 100% secara drastis. 


Selanjutnya, apa yang ditulis oleh Morgan McFall-Johnsen bisa menjadi salah satu artikel yang

secara alami membuat kita kaget. Ia menulis untuk businessinsider.com pada tahun 2019 bahwa,

The fashion industry emits more carbon than international flights and maritime shipping combined.

Here are the biggest ways it impacts the planet. Bagaimana bisa baju diskon 90% dari HnM yang

kita baru beli kemarin berkontribusi lebih besar dalam meningkatkan level karbon di muka bumi

ini? Kan cuma baju? 



Image: Francois Le Nguyen


Ternyata, berdasarkan riset Khan dan Malik (2014, p.  55-71), 90% pakaian yang diproduksi di

Amerika Serikat terbuat dari polyester yang dalam pembuatannya membutuhkan bahan dasar

minyak, serta katun yang membutuhkan banyak air dan pestisida sebelum bisa panen. Selanjutnya,

dalam proses pewarnaan, bahan-bahan yang digunakan kebanyakan bersifat sintesis, sehingga

meninggalkan zat-zat polutan pada sistem air yang mengaliri rumah-rumah para pekerja juga.

Bisa dibayangkan, kan, sudah upahnya sedikit,risiko kesehatan juga mengintai para pekerja ini

tanpa ampun pula. Sedihnya, berdasarkan film dokumenter arahan Deutsche Welle yang dikutip

brand lokal SukhhaCitta dalam postingan mereka pada tanggal 18 Agustus 2020, Sungai Citarum,

Jawa Barat lah yang disebut sebagai sungai paling beracun di dunia akibat lebih dari 500 pabrik

yang membuang limbahnya secara gamblang ke sana. 


Tentu yang terjadi di lapangan akan lebih kompleks daripada apa yang bisa dituliskan. Studi-studi

yang lebih mendalam di masa depan diharapkan senantiasa menarasikan lebih dalam lagi

kengerian dibalik pakaian diskonan kita. Tentu, kita, sebagai pembaca dan istilahnya “murid” dapat terus mendorong kemajuan pengetahuan dalam bidang ini dengan cara melaparkan diri akan jawaban jika memang belum bisa terjun ke lapangan langsung. Transparansi yang dilakukan oleh beberapa brand fashion yang eco-friendly dan ethical juga bisa menjadi sumber kita untuk mencari tahu lebih dalam lagi. SukkhaCitta, contohnya, yang rajin bercerita tentang bagaimana sumber alam dan buruh perempuan di Indonesia nyatanya masih banyak yang dieksploitasi potensinya. 


Sebagai penutup, mari kita bersama-sama, pelan-pelan, mulai mengubah cara pandang terhadap apa yang ada di dalam lemari. Gunakan ia sebagai teman berefleksi kita dalam melihat kasus eksploitasi manusia dan alam yang nyatanya tak berkesudahan. Lima kesalahan sederhana ini hanya sebagian kecil dari apa yang terpikirkan, tapi lebih baik terpikirkan daripada tidak sama sekali, kan? Kalau sudah setuju, ayo kita memikirkan lebih banyak kesalahan lagi dan mari berefleksi. Pelan-pelan saja. Nanti pasti sampai! 


Posting Komentar

0 Komentar